Majelis Tabligh - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Tabligh
.: Home > Artikel

Homepage

TAQARRUB ILA ALLAH - K. R.H. Haiban Hadjid

.: Home > Artikel > Majelis
26 Agustus 2013 02:23 WIB
Dibaca: 7783
Penulis :

TAQARRUB ILA ALLAH[1]

 

oleh K. R.H. Haiban Hadjid

 

Audzu billahi minasy-syaithonir-rojim,

Wa idzaa sa’alaka ibaadii annii fa’innii qoriib, ujiibud-da’watad-daa’i idzaa da’aani falyastajiibu lii wal-yu’minuubii la’allahum yarsyuduun.

 

Alhamdulillah, perkenankanlah saya terlebih dahulu menyampaikan ucapan syukur kepada Allah sebagai ungkapan salah seorang Muhammadiyyin yang sedang meningkat usia, walaupun sudah mulai merasa kurang mampu, namun Alhamdulilah masih dikaruniai sedikit kenikmatan, maka akan saya sampaikan satu hal yang merupakan salah satu pesan Prof. Kahar Mudzakkir yang waktu itu sebagai dekan Akademi Tabligh (sebelum Akademi Dakwah) dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Beliau menyatakan bahwa diantara komponen dakwah, pokok-pokok daripada pelaksanaan dakwah yang terpenting itu adalah manusianya, pelaksana dakwah, bukan wujudnya yang disampaikan, bukan sistemnya, bukan organisasinya, tetapi the man behind the gun. Maka, oleh karena itu, beliau pesan kepada para mahasiswa Akademi Tabligh pada waktu itu, agar memahami mengapa risalah Nabi Muhammad saw. yang dimulai di bulan Ramadhan dengan diterimanya wahyu Alquran surat Al-alaq selesai pula di bulan Ramadhan dengan kemenangan fathul Makkah yang terbuka itu, sudah menunjukkan berhasil suksesnya sebuah kemenangan. Beliau menguraikan beberapa faktor penyebab, namun yang terpenting adalah sifat, sikap, ketegaran, dan wibawa pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai seorang rasul yang menyampaikan risalah baru. Ini dipesankan agar kita sekalian selalu membina diri sehingga mempunyai kalam balligh, ucapan yang bisa menembus jantung, bisa membuka qolbu, bisa menggugah pikiran.  

 

Kalam balligh, kalam yang langsung bisa menembus jantung sehingga akan terasa orang itu tergetar. Oleh karena itu, syukurlah dalam kesempatan ini kami dapat menyampaikan diantaranya, bahwa Nabi Muhannad saw. sejak semula sudah selalu mendapatkan bimbingan dari Allah yang kita bisa mencontoh agar pula mendapatkan bimbingan dari Allah. Sebab, kita tidak mungkin seperti Nabi. Kalau Nabi itu memang langsung Allah yang membimbing seakan-akan Allah yang mengutus, Allah yang bertanggung jawab. Tetapi kita harus berusaha sebagai warasatul anbiya’, maka contohlah apa yang dipimpinkan dan dibimbingkan Allah pada diri Nabi Muhammad saw. Dengan mulai menerima ajaran wahyu-ahyu Alquran. Itu semua merupakan bimbingan kedekatan jiwanya kepada Allah, kedekatan rohaninya terhadap Allah, bimbingan yang mendekatkan diri kepada Allah, yang kita bisa mencontoh hal-hal yang menyebabkan kedekatan kepada Allah (taqarrub), yaitu dengan mempelajari tarikh awal Nuzulul Qur’an. Ini kebetulan pula bulan Nuzulul Qur’an. Sedikit saya ungkapkan yang hubungannya dengan pembinaan pribadi sebagai da’i, yang menyebabkan kedekatannya dengan Allah dan bagi kita insya Allah akan pula didekatkan oleh Allah (kalau kita istilahnya didekatkan). Sebab, walaupun kita mendekat, tapi kalau tidak didekatkan mungkin kita tetap manusia biasa. Yahdi man yasa’ yudhillu man yasa’, yaitu mempelajari empat awal surah Alquran. Inilah yang menyebabkan kedekatannya Nabi dengan Allah yang bisa menyebabkan sebagai jalan untuk taqarrub ilallah bagi kita. Bagi Nabi menyebabkan kedekatan, bagi kita sebagai jalan untuk taqarrub ilalllah.

 

Empat awwala wahyu Alquran itu, pertama, perintah Iqra’ (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq khlaqal insana min ‘alaq iqra’ awa rabbukal aqramulladzi ‘allama bilqolam ‘allamalinsana malam ya’lam). Apa pentingnya? Dengan membaca kalamullah yang bukan hasil budaya pikiran manusia, bukan hasil pemikiran manusia, tetapi kalamullah yang merupakan nur, sehingga dalam surat Al-Qolam disebut bahwa memang Alquran itu, diantaranya, adalah mengeluarkan manusia, minadzulumati ilan-nur (mengeluarkan manusia yang semula dalam keadaan kegelapan, menjadi mendapat petunjuk yang terang benderang).

 

Jadi, kita membaca Alquran itu merupakan salah satu cahaya nurullah sehingga kita, insya allah, akan mendapatkan cahaya pancaran dari sinar Allah. Namun memang ada sedikit akibat kalau merasa dirinya sudah merasa demikian dekat, merasa dirinya ujub. Ini yang sudah ada pada batas ambang bahaya seperti adanya wihdatul wujud. Tetapi kalau hanya untuk sekedar mendapat cahaya nurullah kita akan bisa meresapkan ruhul qur’an ke dalam diri kita. Apa fungsinya Alquran? Hudan lilmuttaqin, bukannya tanpa hikmah walaupun dalam surat Al-Baqarah yang mengenai syahru romadlonalladzi unzila fihil qur’anu hudallinnas wa bayyinatin minal huda wal furqon, itu memang fungsi yang luas. Namun setelah disusun lengkap, yang diletakkan di awal Alquran mengandung hikmah, bukannya tanpa hikmah urut-urutan awal dengan urut-urutan yang sudah ada. Maka, ada seorang yang bertanya, apakah masih ada orang yang menyimpan urut-urutan Alquran seperti semula? Ada, namun karena Nabi Muhammad dituntun oleh Jibril untuk menyusun seperti yang sekarang ada, ya yang harus kita baca itu. Itu yang harus menjadi pedoman. Kalau akan mempelajari ya tidak apa-apa, untuk memperkuat juga maksud-maksud, dari istilah sekarang, konteksnya yang menjadi asbabun nuzul. Tetapi jangan terikat  pada asbabun nuzul.

 

Saya waktu sering menerangkan tentang hal ini ditegur oleh Kiai Wardan. Pernah mendengar nama Kiai Wardan? Beliau adalah Ketua Majelis Tarjih. Orangnya ‘alim, tenang, tegar, dan tegas. Saya ditegur jangan terlalu terikat, lalu saya jawab sekedar untuk menerangkan salah satu kemungkinan. Tapi jangan terikat, kalau sampai terikat dengan asbabun nuzul, berarti terbatas waktunya, dan itu berarti dhalima sepanjang masa.

 

Kembali ke soal Iqra (membaca Alquran), kapan waktunya? Sewaktu-waktu. Sewaktu longgar, sewaktu ada kesempatan, namun juga ada batasnya.

 

Tahun lalu, dalam rubrik Tanya Jawab Republika Prof. Dr. Quraisy Shihab menjawab pertanyaan yang menyatakan bahwa kalau di Mekkah itu benar-benar lebih baik diam. Betul. Dijawab oleh Prof. Quraish Shihab: Aqro’u maa tayassara minal qur’an. Memang perintah Allah demikian, “Bacalah apa-apa yang lebih mudah dari ayat-ayat Qur’an”. Artinya, seberapa kamu baru mampu, mulai bacalah. Ini untuk mendidik putra-putri kita. Bacalah, bacalah, bacalah. Insya Allah akan meresap ruhul Qur’an. Sehingga kita akan menjadi manusia Quraniy, selalu berpedoman Qur’an, bersikap tegas. Seperti gerakan Muhammadiyah yang sejak awal tegas: ruju’ ilal Qur’an wa Sunnah, merujuk kepada Alquran dan as-Sunnah. Memang ada batasan menurut hadis, Nabi lebih senang diam ketika, pertama, berada dekat dengan orang yang sedang shalat. Kedua, waktu dibacakan Alquran, kita harus diam mendengarkan. Ketiga, di dekat mayyit. Keempat, di waktu sedang menghadapi musuh. Jadi, ketika ada kematian justru kita harus diam, dalam arti sesungguhnya. Sebagai tanda ada kematian, cukup dengan pemberitahuan saja.

 

Empat awwala wahyu Alquran yang kedua, yaitu surat Qaaf. Nuun walqolami wamaa yasthuruun. Wa-innaka la’alaa khuluqin adziim. Muhammadiyah menjawab dengan menjaga kehormatan pribadi dengan meningkatkan akhlaqul karimah, syukur sampai kepada akhlaqul adziim, akhlak yang agung, yang mulia.

 

Ada ulama yang mengatakan bahwa yang penting agama itu akhlak. Itu juga betul tapi belum lengkap. Lengkapnya, akhlaq atas dasar iman, taqwa dan ibadah.

 

Awwala wahyu Alquran yang ketiga, sudah mulai tegas perintahnya: Qumil-layla illa qaliila. Bangunlah malam. Wa-rattilil Qur’aana tartiila. Jadi, di waktu malam hari itu kita shalat dan baca Qur’an. Ini untuk mendekatkan diri dan didekatkan kepada Allah. Yang diperintahkan Allah kepada Nabi adalah shalat dan membaca Alquran. Tapi wujud dhahir ibadah adalah shalat, kepada Nabi sudah wajib, sementara bagi kita belum. Baru setelah peristiwa isra mi’raj kita diwajibkan shalat. Ini antara lain pengertian mengapa kekuatan jiwanya demikian tegak. Sebab, innash-shalaata tanhaa anil fahsyaa’i wal munkar. Shalat itu aqimish-shalaata li-dzikri, dzikir kepada Allah. Alaa bidzikrillah tatma’innul quluub. Kalau sudah tatma’innul qulub, lalu Allah memanggil dengan yaa ayyatuhan-nafsul muthma’innah. Inilah yang luar biasa. Jadi rangkaiannya itu shalat sampai jiwa yang muthmainnah. Sebab, Nabi itu mengalami berbagai kejadian yang berat dalam perjuangannya, tetapi tidak gugup, tidak resah dan tidak putus asa.

 

Shalat itu adalah puncak untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam surat al-Alaq di ayat terakhir disebutkan, jangan sampai kamu terbawa, terjebak oleh kadzibin. Yang menipu kamu. Kalla, la tuti’hu wasjud waqtarib. Jangan ikuti mereka dan hendaklah kamu sujud dan mendekatkan diri kepada Allah, yang diikuti dengan sujud tilawah. Jadi kalau sedang membaca Alquran sendiri lalu mendapati ayat-ayat sajadah disunnahkan melakukan sujud tilawah.

 

Ada perintah dalam ayat Alquran surat adz-Dzariyaat: fa-firru ilallaah, inni nadziirun mubiin. Hendaklah kamu bersegera kepada Allah, untuk meninggalkan larangan musyrikin, yang mereka mengajukan berbagai ajakan kompromi. Tinggalkan, hendaklah kamu kembali bergegas kepada Allah. Jadi ada sikap preventif, menjaga diri.

 

Itulah sebagian arti taqwa. Ada sikap menjaga, menjaga sikap kebaikannya, menjaga dari pengaruh-pengaruh buruknya. Taqwa berasal dari kata waqaa-wiqooya.

 

Awwala wahyu Alquran yang keempat, adalah surat al-Mudatstsir. Pertama, surat al-Alaq, kedua al-Qolam, ketiga al-Muzammil, dan keempat adalah surat Al-Mudatstsir. Pada tahap ini, mulailah Nabi diperintahkan untuk pro aktif menyampaian misi dakwahnya. Yaa ayyuhal mudatstsir. Qum fa-andir.

 

Buya AR Sutan Mansur selalu menjelaskan qum fa-andir: bangkit, bangun, jangan diam. Jangan pasif kalau melihat sesuatu yang munkar, cepat sampaikanlah dakwah. Sewaktu AR Sutan Mansur mendengar KHA Dahlan membikin Muhammadiyah, mendekatlah ia ke Kauman, menjenguk, melihat sampai dimana KHA Dahlan pada masa awal itu. Tapi, kalau kiyai-kiyai pesantren tidak. Kiyai Dahlan ora ngajeni awake dewe. Tidak menjaga kehormatan diri. Ono kiyai koq golek murid (ada kiyai koq mencari murid). Kiyai itu seperti sumur. Yang memerlukannya, mendatangi, ngangsu ilmu. Kiyai Dahlan tidak menjawab, ia terus berangkat.

 

Waktu itu tahun 1910 orang heran ada orang bersurban berjalan di Malioboro ke sekolah-sekolah negeri melakukan dakwah. Itulah yang saya maksudkan bahwa Kiyai Dahlan mengamalkan qum fa-andir. Berangkatlah, untuk memperingatkan, untuk menegakkan ajaran agama Islam.

 

Hendaklah berkepribadian lima. Inilah perintah awal Allah. Disamping itu untuk juga menjaga kewibawaan, sehingga apa yang disampaikan itu merupakan kalam balligh yang menggugah pikiran, menembus jantung. Qum fa-andir, pertama, Wa rabbaka fa-kabbir. Agungkanlah Tuhanmu.

 

Perintah itu berbunyi wa-rabbaka. Mengapa belum (berbunyi) Allah, pada surat Al-Mudatstsir belum disebut Allah. Sebab bagi masyarakat Arab pada masa itu, rabbun lebih difahami. Dan rabbun mengandung arti sebagai Tuhan yang menciptakan, yang mengatur, yang membina, yang mencukupi dan menentukan.

 

Dalam surat al-Ankabut ayat 45 diyatakan: waladzikrullaahi akbar, yang dimaksud dzikir itu adalah shalat. Saya bersyukur dalam shalat tarawih itu ada pembinaan shalat malam. Maka lanjutkanlah itu di rumah. Sebab, shalat malam yang dilaksanakan Nabi itu justru sering di rumah, kecuali waktu i’tikaf. Ada yang menyindir Muhammadiyah tentang shalat tarawih ini, bahwa Muhammadiyah meninggalkan masyarakat untuk menjadi pendito. Tidak demikian. Nabi itu pemimpin masyarakat, bukan hanya di belakang, itu namanya angon bebek. Nabi justru berada di tengah-tengah masyarakat. Waktu nabi ber-uzlah atau populernya berkhalwah, naik ke gunung Hira itu hanya beberapa hari, waktu itu belum turun ayat qur’an. Namun setelah menerima wahyu kemudian Nabi terus aktif di masyarakat dan tidak pernah kembali lagi ke Hira.

 

Kemudian ada tuntunan Nabi tentang i’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan. Itu saya rasa cukup hanya di waktu Ramadhan untuk meningkatkan diri.

 

Perintah berikutnya, watsiyaabaka fa-thohhir. Perlengkapan pakaianmu bersihkan. Jangan sampai ada yang kamu pakai itu subhat. Maka dalam hal ini Muhammadiyah benar-benar menjaga. Muhammadiyah sejak awal memimpin dengan akhlaq keikhlasan. Adapun untuk wala tamnun tastaksur, jangan berlebih-lebihan, secukupnya. Inilah yang ‘aneh’ dalam Muhammadiyah. Maka kalau ada seseorang yang menggunakan jabatan untuk memanfaatkan kekuasaannya itu akan malu sendiri. Maka biasanya dalam pemilihan pimpinan, kalau dia sudah memimpin misalnya selama periode, dia akan merasa rikuh lalu merasa cukup. Muhammadiyah sangat menjaga hal-hal yang demikian.

 

Untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaklah sabar dengan ikhlas, bukannya sabar dengan nelangsa, nglokro, marah, dendam. Inilah yang menjaga wibawa Nabi, karena berakhlaq. Jadi, sejak awal itu mulai dari baca Alquran, shalat, menegakkan akhlaq, lalu lima sifat utama dalam surat al-Mudatstsir, pertama qum fa-andir, wa rabbaka fakabbir, wa tsiyaabaka fathohhir, kemudian: war-rujza fahjur. Jauhkanlah laku yang umumnya itu musyrik, dalam arti berperilaku serong. Inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad berhasil dalam dakwahnya, karena kedekatannya kepada Allah dengan sifat-sifat keutamaannya yang berdasarkan Alquran. Maka bagi kita umat Islam hendaklah meniru yang demikian, meniru Rasulullah sebagai waratsatul ambiyaa wal mursaliin.

 

Dalam surat Al-Baqarah 186, ada kata-kata qarib, wa-idzaa sa’alaka ibadii anni, fa-innii qariib. Ini dimaksudkan supaya dalam mendekatkan diri kepada Allah, pertama, tidak memerlukan perantara. Sebab perantara bisa menjadi takhayul, bisa menjadi khurafat. Yang kedua, bisa dimanapun juga. Yang ketiga, waktunya kapan pun juga. Namun syaratnya ialah yu’minubii, beriman kepada Allah dan memenuhi ketentuan yang sudah dituntunkan.

 

Seringkali uraian masalah taqarrub di pesantren-pesantren itu ada maksud mendekatkan diri kepada Allah untuk mengharapkan rahmat Allah, namun juga mengharapkan sesuatu yang khusus dalam kehidupan pribadi. Padahal dinyatakan Allah, ujiibud-da’watad-daa’i, saya akan memenuhi kalau ada seseorang yang menyampaikan permohonan, asal syaratnya iman dan memenuhi ketentuan. La’allahum yarsuduun, agar selalu menegakkan kebenaran.

 

Muhammadiyah menemukan cara: qul in-kuntum tuhibbuunallah fattabi’uunii.  Jika engkau ingin mencintai Allah maka ber-ittiba’-lah kepada Nabi. Muhammadiyah telah berani memasang nama Muhammadiyah, oleh karena itu memang harus tegas untuk ber-ittiba’ kepada Nabi.

 

Pak AR Fachruddin, ketika ada orang menanyakan tentang shalat tasbih, beliau menjawab: saya hanya akan menegakkan berdasarkan dalil hadis yang benar-benar shahih. Jadi tegas. Ada dasar yang betul. Kebenaran ini ialah ittiba’ Nabi. Karena Rasulullah adalah pintu uswah yang terbaik. Yang jadi masalah adalah bagaimana caranya taqarrub kepada Allah dengan ittiba Rasul. Orang selalu bertanya demikian.

 

Yang diungkapkan dalam kitab hadis Riyadush-shalihin adalah bab mujahadah. Disitu tidak disebutkan tentang bab taqarrub ilallah. Tetapi mujahadah ini erat kaitannya dengan taqarrub ilallah. Disana diuraikan suatu khabar, seruan. Bukan dorongan.

 

Dalam sebuah kitab dikatakan: Qaala man aadaalii waliyyan faqad aadzaanuu bih. Wamaa taqarrab ilayya syay’in akhabba ilayya minmaa aqrabu alaihi. Wamaa faadzal-abdi taqarrub ilayya innawaa fil khathayaa hubbi fa-idzaa ya’tu kuntu maahu alladzi sam’an wal-bashar. Maksudnya, hadis menerangkan tentang khabar, bukan perintah, bukan dorongan, siapa yang dekat dengan Allah, maka Allah akan menyambutnya dengan lebih dulu sekian lebih jauh. Dan siapa yang mendekat dengan kekuatannya maka Allah akan menyambutnya sehingga Saya (Allah) akan menjadi penglihatannya, pendengarannya, dan segala kemampuannya. Ini semua menunjukkan tidak ada tuntunan yang tegas dan jelas tentang wujud taqarrub ilallah itu seperti apa. Ini semua mengandung maksud karena taqarrub itu peningkatan taqwa. Sedangkan taqwa itu ittaqullah ada yang mastatha’tum (semampu kamu), ada yang haqqa tuqaatih (sebenar-benar taqwa). Ittaqullah haqqa tuqaatih, dalam surat Ali Imran. Sedang mastatha’tum dalam surat At-taghabun. Masing-masing ada konteksnya. Dalam hal harta dan mendidik anak, tidak semua orang dapat. Untuk apakah taqwa? Libtighaa’i mardhatillah, untuk mengharapkan ridha Allah.

 

Dalam mengharapkan ridha Allah ini, Ki Bagus Hadikusumo dalam sebuah pengajian mengisahkan, di kalangan umat Islam dalam menjalankan perintah agama itu ada tiga kelompok. Pertama, muslim yakni orang yang sudah mengucapkan syahadat, melaksanakan yang wajib dan menjauhi yang haram. Kedua, muhsin. Ia meningkatkan diri dengan berbagai amal tathawwu’  dan meninggalkan berbagai hal yang makruh. Karena, min husni islaamil mar’i tarkuuhu maa laa ya’niih. Seorang Islam yang baik itu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Yang ketiga, meningkat lagi, yaitu mursyid, yaitu dengan penuh keikhlasan. Tidak memperhitungkan nilai pahalanya dan akibat daripada ancaman dari perbuatannya. Biasa juga disebut sebagai orang yang hubb kepada Allah. Apapun yang diminta oleh-Nya akan dicukupi. Ini orang-orang yang mencapai tingkatan tertinggi.

 

Yaa’ayyatuhan-nafsul muthma’innah. Irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadkhulii ibaadii, fadkhulii jannati. Karena sudah mapan menjalankannya, sampai akhir usia, selalu mengerjakan yang baik tanpa memperhitungkan pahala, menghindari yang haram bukan karena takut pada ancaman-Nya, tapi semata-mata karena mengharap ridha Allah. Dia sudah madep, sudah mapan, menemukan sikap yang terbaik. Itulah wujud ibtighaa’i mardhaatillah.

 

Namun, yang rumit adalah menemukan rasa keikhlasan. Maka kita ungkapkan supaya menjauhkan lima sifat yang mengurangi keikhlasan dalam rangka taqarrub ilallah. Pertama,, jauhkanlah dari sifat ri’aa’an-naas. Riya’ kepada manusia. Kedua, summa’a, didengarkan saja, tetapi tidak usah menceritakan kembali (terhadap hal-hal/berita/issu yang tidak baik). Ketiga, takabbur, membanding. Keempat, ananiyah. Menyatakan dirinya yang mampu, menunjuk dirinya. Misalnya kata-kata “Yang punya massa itu saya, bukan si A”. Kelima, ujub, ialah memuji dirinya sendiri. Ini semua bisa dihilangkan sedikit demi sedikit. Itu yang terbaik, yang disebut orang-orang yang sudah mndapatkan tingkat Muthmainnah karena keikhlasannya.

 

Maka oleh karena itu, dalam melaksanakan taqarrub ilallah ialah melaksanakan amal tathowwu’ setelah menetapi yang wajib. Sebab tathowwu’ itu untuk meningkatkan taqwa ila-Allah. Melaksanakan yang wajib itu pasti, juga meninggalkan yang haram itu pasti.

 

Kelompok yang biasa disebut taqorrub ilallah, antara lain ada lima: Pertama, rofiiqul a’la, yang tertinggi. Wa man yuti’illaha war-rasuul fa-ulaaika ma’alladhina an’amallahu wa’alaihim minan-nabiyyin, wash-shiddiqiin, wash-shuhadaa’i, wash-shalihiin, wa-khatsuna ulaa’ika rafiiqa. Pak Amien Rais sewaktu kata sambutan dalam upacara pemakaman Pak AR Fachruddin menyampaikan: “…mudah-mudahan Pak AR termasuk diantara rafiiqul a’la”. Inilah yang dimaksud amal as-sabiquunas-sabiquun. Ulaa’ikal-muqarrabuun. Fii jannatinna’iim. Mereka yang terdahulu, yang selalu tepat mengamalkannya dengan kebaikan, itulah yang didekatkan kepada Allah. Muqorrobun itu artinya didekatkan. Mereka adalah para Nabi, shiddiqiin, syuhada, dan shalihin. Atas dasar ini yang rafiiqul a’la, tertinggi.

 

Yang kedua, lihat Al-Baqarah 177: Laysal-birra an tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal-maghribi walaqinnal-birra… dst.

 

Ketiga, Ibaadurrahman, di dalam surat al-Furqan bagian akhir (ayat 63-77). Waibaadurrahmaanil-ladziina la yamsuuna….dst. Sejak awal telah ditunjukkan dalam tingkah lakunya. Rendah diri, menyelamatkan, dan malam harinya sujud dan tegak dalam shalat lail.

 

Keempat, qod aflahal mu’minuun. Alladziina fi shalaatihim khaasi’uun, walladziinahum ‘anillaghwi mu’ridzuun, dst. Yang didekatkan oleh Allah itu pasti ada jaminan, bukan sekedar khabar, tetapi ada jaminan. Seperti qod aflaha, pasti, bahagia. Di akhir ayat disebut fii jannatin-na’iim. Khaaliduuna fiiha. Mereka kekal di dalamnya.

 

Kelima, adalah tujuh kemuliaan hati. Ini dari hadis. Sab’atun yudhillullahu fi diini yawman …..dst. Ada tujuh orang yang kelak dalam satu kelompok yang mendapat perlindungan di hari yang tiada perlindungan selain dari Allah. Jadi sudah ada jaminan dilindungi oleh Allah. Pertama, imaamul ‘adil. Pimpinan, penguasa yang adil. Kedua, seorang yang jiwanya terkait selalu ingin tahajud.

 

Kesadaran manusia itu sifatnya dhaif. Jadi mesti membutuhkan pertolongan. Maka dalam membutuhkan pertolongan itu, hendaklah seperti yang terungkap dalah surat Al-Fatihah, iyyaaka na’budu wa-iyyaaka nasta’iin. Hanya kepada-Mu (Allah) saya beribadah, hanya kepada-Mu saya membutuhkan pertolongan. Atas dasar iman kepada Allah, Allah pasti memberi pertolongan, membantu kesulitan apapun yang dihadapi.

 

Dan akhirnya, isti’adzah. Surat al-Falaq dan an-Naas. Kita harus menyadari manusia makin lama makin meningkat usia, namun bagaimanapun makin melemah. Maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari segala marabahaya dan dari segala hal-hal yang kurang baik.

 

 

 


[1]Tulisan ini adalah transkrip ceramah K. R.H. Haiban Hadjid yang disampaikan sekitar tahun 2001 dalam sebuah kegiatan pesantren Ramadhan. Ditranskrip secara bebas oleh Arief Budiman Ch.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website